Sunday, October 4, 2009

WNI DI AUSTRALIA MOBILISASI PENGUMPULAN SUMBANGAN GEMPA SUMBAR

Acara "halal bi halal" Idulfitri 1430 Hijriah masyarakat Indonesia di Taman Svoboda Kuraby, Queensland, Australia, Minggu, berhasil pengumpulan bantuan dana bagi para korban gempa Sumatera Barat (Sumbar) sebesar 3.161,7 dolar Australia atau sekitar Rp25 juta dalam tiga jam.

Acara yang diselenggarakan Perhimpunan Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane (IISB), Perhimpunan Indonesia Queensland (PIQ) dan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Queensland itu hanyalah salah satu dari kegiatan pengumpulan dana yang dimobilisasi kantong-kantong komunitas Indonesia di Australia.

Panitia "halal bi halal", Malia Rita Ningsih, mengatakan, pihaknya akan menyalurkan sumbangan bagi para korban gempa berkekuatan 7,6 pada Skala Richter yang memporakporandakan kota Padang dan beberapa wilayah lain di Sumbar 30 September lalu itu melalui lembaga kemanusiaan kredibel Australia.

"Bagi para penyumbang yang ingin mendapatkan tanda bukti sumbangan bagi kepentingan pengurangan pajak (tax deductable), kami akan mengirimkan buktinya ke alamat rumah mereka," kata Malia saat menyampaikan perihal kegiatan pengumpulan sumbangan di acara yang dihadiri sedikitnya 200 orang itu.

Selain warga masyarakat Indonesia dari lintas agama, acara halal bi halal yang diisi dengan doa khusus bagi para korban yang dipimpin mantan Presiden IISB, Dedi Muhammad Siddiq, itu juga dihadiri para orang tua dan anak dari hasil kawin campur Indonesia-Australia, dan sejumlah warga Muslim Timur Tengah dan Malaysia.

Kegiatan halal bi halal komunitas Indonesia di kota Brisbane dan sekitarnya itu semakin menggairahkan gerakan solidaritas kemanusiaan bagi para korban gempa Sumbar di Australia.

Gelang emas pun disumbangkan

Sejak hari pertama bencana, berbagai komunitas Indonesia di Australia terus bergerak untuk mengumpulkan dana bantuan. Di kota Sydney misalnya, komunitas Indonesia yang berhimpun dalam organisasi "Minang Saiyo" sudah mengumpulkan sumbangan publik sebesar 15.757,10 dolar Australia ditambah satu gelang emas.

Sumbangan senilai lebih dari Rp130,7 juta itu dikumpulkan para relawan "Minang Saiyo" pimpinan Syamsul Bahri ini dari warga masyarakat Indonesia dan sumbangan sejumlah masjid di kota Sydney.

Di antara masjid-masjid yang ikut mendukung aksi pengumpulan dana "Minang Saiyo" bagi para korban gempa Sumbar itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah Belmore, Al Hijrah Tempe, Zetland/AFIC Sydney dan Musalla Macquarie.

"Dalam waktu yang terbatas, kita berharap bisa mengumpulkan dana minimal 30 ribu dolar (lebih dari 240 juta rupiah). Pada saat bencana tsunami 2004, kita juga melakukan aksi pengumpulan sumbangan publik bagi para korban. Saat itu, alhamdulillah, kita mampu mengumpulkan 16 ribu dolar Australia," kata Syamsul Bahri.

Ia mengatakan, seluruh sumbangan yang dikumpulkan "Minang Saiyo" Sydney akan disalurkan kepada para korban melalui Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) Sumbar.

"Kita sudah bekerja sama dengan PKPU selama empat tahun. Terakhir kita bekerja sama membantu para korban gempa Sumbar tahun 2007. Alhamdulillah, saat itu kita mampu mengumpulkan dana sumbangan sebesar 27 ribu dolar Australia," katanya.

Gerakan solidaritas yang sama juga dilakukan Masyarakat Muslim Indonesia di Victoria (IMCV), IISB, dan kantong-kantong komunitas Indonesia di berbagai kota besar dan kecil Australia lainnya, termasuk Darwin dan Alice Springs, negara bagian Northern Territory.

Hingga Minggu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, jumlah korban meninggal akibat gempa bumi 30 September itu sudah mencapai 603 orang dan sebanyak 343 orang lainnya belum ditemukan.

Sejumlah negara sahabat juga terlibat dalam misi pencarian, penyelamatan, dan pelayanan kesehatan para korban, serta menyalurkan bantuan darurat kemanusiaan. Di antara negara-negara itu adalah Australia, Inggris, Singapura, dan Jepang.
Justify Full *) My news for ANTARA on Oct 4, 2009

Saturday, October 3, 2009

AUSTRALIA KERAHKAN "HMAS KANIMBLA" KE SUMBAR

Kapal perang Australia, HMAS Kanimbla, yang dilengkapi fasilitas medis modern dan helikopter jenis "Sea King", Sabtu, meninggalkan pangkalannya di Sydney menuju perairan Sumatera Barat (Sumbar) untuk mendukung operasi kemanusiaan Australia bagi para korban gempa.

HMAS Kanimbla yang pernah dilibatkan dalam misi kemanusiaan yang sama untuk membantu para korban bencana tsunami Aceh dan gempa Nias (2004-2005) itu berangkat sehari setelah Angkatan Bersenjata Australia (ADF) memberangkatkan masing-masing pesawat angkut Hercules C-130 dan C-17 "Globemaster" ke Sumbar.

Departemen Pertahanan Australia dalam pernyataan persnya, Sabtu, menyebutkan, kapal perang jenis pendarat amfibi (ALP) yang mengangkut tambahan personil, peralatan teknis dan infrastruktur, serta paket bantuan kemanusiaan ini diperkirakan tiba di wilayah bencana setelah sepuluh hari berlayar.

HMAS Kanimbla akan mendukung operasi pengobatan dan pelayanan kesehatan bagi para korban gempa bumi berkekuatan 7,6 pada Skala Richter yang memporakporandakan kota Padang dan beberapa wilayah lain di Sumbar hari Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB itu.

Kapal yang dinakhodai Tim Byles ini dilengkapi fasilitas pendukung kegiatan bedah dan pemulihan pasca-bedah dengan 40 tempat tidur pasien.

Kapten HMAS Kanimbla, Tim Byles, mengatakan, pihaknya siap menjalankan pperasi kemanusiaannya di Sumbar dengan menyediakan pelayanan medis dan bedah kepada para korban gempa.

Sehari sebelumnya, Panglima ADF, Marsekal Angus Houston AC, sudah memberikan sinyal keterlibatan HMAS Kanimbla dalam "Operasi Bantuan Padang" yang melibatkan sepuluh anggota tim pendahulu teknis angkatan darat, tim penilai kesehatan angkatan udara, dan 36 anggota tim penyelamat sipil Australia itu.

"ADF sudah membentuk Satgas gabungan unsur militer dan sipil untuk memberikan dukungan terbaik bagi upaya pemerintah Australia membantu Indonesia," katanya.

Pesawat Hercules C-130 AU Australia (RAAF) yang membawa personil Satgas serta berbagai peralatan pendukung yang diperlukan selama misi kemanusiaan di Padang sudah bertolak dari Darwin, negara bagian Northern Territory (NT) Jumat (2/10).

Sebuah pesawat super jumbo C-17 yang mengangkut tim medis ADF dan 36 anggota tim penyelamat dari Brisbane juga telah bertolak menuju wilayah bencana Jumat sore dari pangkalan udara RAAF Amberley.

Di bawah arahan Indonesia

Dalam operasi kemanusiaan di Padang ini, para personil gabungan ADF dan sipil Australia itu memberikan bantuan darurat kepada para korban bencana sesuai dengan arahan pemerintah RI, kata Angus Houston.

Selain mengerahkan pesawat dan kapal perangnya dalam misi kemanusiaan di Sumbar ini, Pemerintah Australia melalui kedutaan besarnya di Jakarta telah pun memberikan bantuan darurat berupa obat-obatan, selimut dan tenda, bagi para korban.

Kedubes Australia di Jakarta juga telah memberikan bantuan sebesar 250 ribu dolar Australia kepada LSM Muhammadiyah untuk mendukung tim kesehatan dan operasi kemanusiaan mereka.

Aksi tanggap darurat Australia bagi para korban gempa Sumbar ini tidak hanya ditunjukkan pemerintah federal tetapi juga pemerintah negara bagian. Di antara negara bagian yang bersimpati dan mendukung misi kemanusiaan Australia itu adalah Queensland.

Presiden Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA), Cecep Setiawan menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Premier (Kepala Pemerintah) Negara Bagian Queensland Anna Bligh.

Gempa dahsyat yang melanda Sumbar itu tidak hanya menewaskan sedikitnya 1.100 orang dan melukai sedikitnya 2.177 orang lainnya tetapi juga merusak sedikitnya 2.650 bangunan. Pemerintah Australia sendiri masih mencari tahu keberadaan 40 orang warganya yang diyakini berada di daerah bencana saat gempa terjadi.

Untuk meringankan penderitaan para korban, berbagai elemen masyarakat Indonesia di Australia terus melakukan penggalangan dana bantuan kemanusiaan dalam tiga hari terakhir.

Di Sydney misalnya, komunitas Indonesia yang berhimpun dalam "Minang Saiyo" melakukan aksi pengumpulan dana bantuan bencana lewat rekening organisasi itu. Aksi dompet peduli bencana Sumatera juga digelar kalangan mahasiswa Indonesia.

*) My updated news for ANTARA on Oct 3, 2009

PENYELUNDUP 58 WNI KE AUSTRALIA DIBAYAR RP1,7 MILYAR

Kasus kedatangan 58 orang warga negara Indonesia (WNI) ke Australia dengan perahu yang diawaki empat orang Indonesia 15 September 2009 untuk mencari kerja baru pertama kali terjadi.

"Mereka mengaku membayar pihak yang mengirim mereka lewat laut ke Australia antara Rp30 juta dan Rp40 juta per orang atau total lebih dari Rp1,740 miliar," kata diplomat senior urusan politik KBRI Canberra, Dupito Darma Simamora, kepada ANTARA, Sabtu.

Menurut Simamora, seluruh penumpang dan awak kapal WNI itu sudah dipulangkan pihak terkait Australia ke Jakarta dari Pulau Christmas (Pusat Penahanan Imigrasi Australia) dengan pesawat Jumat (2/10) kemarin.

Namun, lanjutnya pengakuan mereka bahwa mereka membayar Rp30 juta - Rp40 juta per orang kepada pihak yang membantu mereka berlayar ke perairan Australia pertengahan September lalu itu patut diselidiki Polri karena kejadian ini adalah kasus pertama dalam catatan KBRI Canberra.

Perahu berawak empat orang WNI yang membawa 58 orang pencari kerja asal Jawa Timur ini ditangkap kapal patroli Angkatan Laut Australia, HMAS Larrakia, di perairan sekitar 230 mil utara Broome 15 September 2009. Sebelum dideportasi, mereka sempat ditahan di Pulau Christmas, Australia Barat, untuk menjalani pemeriksaan.

Simamora mengatakan, pemulangan ke-62 WNI itu merupakan hasil kesepakatan pemerintah kedua negara melalui proses pembicaraan yang dilakukan KBRI Canberra dengan instansi-instansi terkait Australia.

"Kita bahas dan sepakati dengan Australia bahwa semuanya dipulangkan," katanya.

Minister Counselor Fungsi Politik KBRI Canberra ini mengatakan, pihaknya melihat kemungkinan adanya unsur penipuan dalam kasus 58 orang asal Jawa Timur ini, karena mereka telah diperdaya jaringan kejahatan perdagangan manusia dengan memanfaatkan "keluguan" mereka.

Menurutnya, kasus ini modus operandi baru dalam kasus perdagangan manusia dan terlihat adanya unsur penipuan yang dilakukan jaringan pelaku perdagangan manusia yang mulai menjadikan WNI sebagai korban.

"Mana mungkin ada orang yang dibawa ke Australia untuk tujuan bekerja tanpa dilengkapi paspor apalagi datang lewat laut," kata diplomat senior yang menamatkan pendidikan sarjananya dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan ini.

Dikatakan Simamora, penyelidikan Polri itu sangat diperlukan supaya kasus yang menimpa ke-58 WNI ini tidak terjadi lagi di kemudian hari karena di tengah hiruk pikuk aksi kejahatan penyelundupan manusia dengan warga negara lain, Indonesia tak boleh lengah dengan kemungkinan WNI menjadi target jaringan perdagangan manusia.

"Kita sampaikan apresiasi kepada Australia yang bersedia memulangkan para penumpang dan ke-empat awak kapal ke Indonesia namun di sisi lain, sebelum mereka dipulangkan kita periksa juga identitas dan dokumen yang ada pada mereka untuk memastikan bahwa mereka benar-benar warga negara Indonesia," katanya.

Sejak kasus penyelundupan manusia ke Australia marak dalam 13 bulan terakhir, warga negara Indonesia yang ditangkap dan diadili otoritas hukum negara itu adalah mereka yang menjadi awak dan nakhoda perahu-perahu pengangkut para pencari suaka yang seluruhnya warga negara asing.

KBRI Canberra mencatat setidaknya sudah 70 orang WNI tersangkut kasus kejahatan penyelundupan manusia ini di Australia sejak kapal pengangkut pencari suaka pertama memasuki perairan Australia pada September 2008.

Ke-70 WNI itu adalah nakhoda dan awak dari 24 dari 36 kapal pengangkut pencari suaka yang memasuki Australia sampai 29 September 2009. Total jumlah pencari suaka yang diangkut 36 kapal tersebut mencapai 1.690 orang.

*) My news for ANTARA on Oct 3, 2009

Friday, October 2, 2009

"TUMPENGAN" WNI RAYAKAN "HARI BATIK" DI AUSTRALIA

Komunitas Indonesia di Australia, Jumat, mengungkapkan rasa bangga dan syukur mereka pada keputusan UNESCO memilih batik Indonesia sebagai bagian dari warisan budaya dunia dengan mengenakan batik dan menggelar acara "tumpengan".

Penetapan Organisasi Urusan Pendidikan, Sains dan Budaya PBB (UNESCO) bahwa batik termasuk dalam warisan budaya dunia tak benda (intangible cultural heritage/ICH) ini berlangsung bertepatan dengan hari Jumat di Australia sehingga banyak warga Muslim Indonesia yang sengaja berkemeja batik saat salat Jumat.

Di antara mereka itu adalah belasan orang mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQ) yang berkemeja batik dengan beragam motif dan corak saat mengikuti salat Jumat di kampus perguruan tinggi terkemuka di negara bagian Queensland itu.

"Saya memang sengaja memakai kemeja batik Cirebon pilihan istri saya ini. Saya bangga dengan batik yang kini diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia," kata Edhi Rahmanto, mahasiswa program magister UQ ini.

Perasaan syukur dan bangga pada pengakuan dunia terhadap batik Indonesia itu diungkapkan Konsulat RI Darwin dengan menggelar acara pemotongan nasi tumpeng di Taman Indonesia kampus Universitas Charles Darwin (CDU).

Sekretaris II Fungsi Pensosbud Konsulat RI Darwin, Arvinanto Soeriaatmadja, mengatakan, acara "selamatan" yang diisi dengan parade dan pameran busana batik oleh anak-anak Indonesia dan Australia ini dihadiri sejumlah wakil pemerintah, akademisi, warga Indonesia dan "sahabat Indonesia" di Northern Territory.

Di antara mereka yang hadir di acara itu adalah Wakil Rektor CDU Prof.Charles Webb dan Administratur Negara Bagian Northern Territory (NT), Tom Pauling, katanya.

Konsul RI di Darwin Harbangan Napitupulu menyerahkan piring berisi potongan nasi tumpeng kepada Wakil Rektor CDU Prof.Charles Webb setelah sebelumnya sempat meminta semua yang hadir mengheningkan cipta sejenak untuk mengenang para korban bencana gempa dahsyat di Sumatera Barat dan Jambi.

Sebagai kelanjutan dari perayaan "Hari Batik" 2 Oktober 2009 ini, Konsulat RI Darwin juga berencana mengundang seorang instruktur "Batik House" (Rumah Batik) Indonesia untuk melakukan eksibisi dan demonstrasi batik di kota Darwin dan sekitarnya serta Alice Springs pada 3 November, kata Arvinanto.

"Instruktur Batik House Indonesia yang kita datangkan dari Jakarta ini akan melakukan eksibisi dan demonstrasi batik di depan pejabat tinggi, masyarakat dan akademisi Australia, serta di depan para guru dan murid sekolah di Darwin dan Alice Springs," katanya.

Kegiatan itu diharapkan dapat semakin memperkuat pemahaman para pelajar Australia bahwa batik adalah ikon warisan budaya asli Indonesia, katanya.

Kampanye pemakaian batik yang diisi dengan pertunjukan tari-tarian dan jualan makanan ringan Indonesia juga akan digelar Pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) ranting Universitas Wollongong (UW) pada 7 Oktober.

"Acara pengenalan batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO ini akan berlangsung saat makan siang dan semua mahasiswa dan warga masyarakat kita diharapkan hadir dengan mengenakan batik pada 7 Oktober, bersamaan dengan 'market day' (hari pasar) kampus," kata Ketua PPIA UW, I Made Andi Arsana.

Penetapan Organisasi Urusan Pendidikan, Sains dan Budaya PBB (UNESCO) bahwa batik termasuk dalam warisan budaya dunia tak benda (intangible cultural heritage/ICH) ini dilakukan di sidang komite antar-pemerintah untuk perlindungan ICH UNESCO di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 28 September-2 Oktober.

Jauh sebelum adanya pengakuan UNESCO ini, batik sudah lama diakui banyak kalangan asing, termasuk Ibunda Presiden Amerika Serikat (AS) Ann Dunham sebagai warisan budaya bangsa Indonesia.

Bahkan, Mei lalu, koleksi batik Indonesia milik Ann Dunham, antropolog kenamaan Amerika yang pernah lama menetap di Indonesia, ini dipamerkan di sejumlah kota di AS, seperti Chicago, Los Angeles, San Fransisco, Houston, New York dan Washington DC.

*) My news for ANTARA on Oct 2, 2009

TIM MISI KEMANUSIAAN AUSTRALIA BERTOLAK KE SUMBAR

Operasi misi kemanusiaan Angkatan Bersenjata Australia (ADF) untuk para korban gempa Sumatera Barat (Sumbar) dimulai Jumat dengan keberangkatan pesawat angkut Hercules C-130 dan C-17 "Globemaster" yang memuat puluhan tim penyelamat, kesehatan, dan teknik angkatan darat ke Padang.

Panglima ADF, Marsekal Angus Houston AC, mengatakan dalam penjelasan persnya, Jumat, "Operasi Bantuan Padang" yang melibatkan sepuluh anggota tim pendahulu teknis angkatan darat, tim penilai kesehatan angkatan udara, dan 36 anggota tim penyelamat sipil digelar setelah ada "lampu hijau" dari pemerintah RI.

"ADF sudah membentuk Satgas gabungan unsur militer dan sipil untuk memberikan dukungan terbaik bagi upaya pemerintah Australia membantu Indonesia," katanya.

Pesawat Hercules C-130 AU Australia (RAAF) yang membawa personil Satgas serta berbagai peralatan pendukung yang diperlukan selama misi kemanusiaan di Padang sudah bertolak dari Darwin, negara bagian Northern Territory (NT) Jumat.

Sebuah pesawat super jumbo C-17 yang mengangkut tim medis ADF dan 36 anggota tim penyelamat dari Brisbane juga telah bertolak menuju wilayah bencana Jumat sore dari pangkalan udara RAAF Amberley.

Dalam operasi kemanusiaan di Padang ini, para personil gabungan ADF dan sipil Australia akan memberikan bantuan darurat kepada para korban bencana sesuai dengan arahan pemerintah RI, kata Angus Houston.

ADF juga berencana mengirim kapal HMAS Kanimbla untuk mendukung misi kemanusiaan di Sumbar. Kapal yang pernah dilibatkan dalam misi bantuan Australia bagi para korban bencana tsunami Aceh dan gempa Nias (2004-2005) itu akan meninggalkan pangkalannya di Sydney menuju Padang dalam beberapa hari lagi, katanya.

HMAS Kanimbla dilibatkan

HMAS Kanimbla yang dilengkapi fasilitas medis modern ini akan didukung satu helikopter jenis "Sea King" untuk membantu operasi pengiriman bantuan ke daerah-daerah bencana yang sulit dijangkau, katanya.

Sebelumnya ADF juga mengirim misi kemanusiaan ke Samoa untuk membantu para korban bencana tsunami yang meluluhlantakkan sebagian wilayah negara kecil di Pasifik Selatan itu.

"Tetangga-tetangga kami di Pasifik Barat Daya, Samoa dan Tonga, serta Indonesia sedang menderita dan kami berangkat untuk membantu. Kami sampaikan belasungkawa yang mendalam kepada mereka yang kehilangan sanak saudara dan rumah mereka."
"Kami percaya upaya kami akan ikut membantu mereka membangun kembali kehidupan normal secepat mungkin," kata Panglima ADF itu.

Sebelumnya, dalam merespons dampak gempa yang telah menewaskan lebih dari seribu orang dan merobohkan banyak gedung di kota Padang sehingga ratusan korban diperkirakan masih terperangkap di bawah reruntuhan atap dan dinding bangunan ini, Kedubes Australia di Jakarta juga telah menurunkan timnya.

Selain itu, Kedutaan Besar (Kedubes) Australia itu juga telah menyiapkan bantuan darurat berupa obat-obatan, selimut dan tenda, bagi para korban serta memberikan bantuan sebesar 250 ribu dolar Australia kepada LSM Muhammadiyah untuk mendukung tim kesehatan dan operasi kemanusiaan mereka.

Negara bagian juga bantu

Aksi tanggap darurat Australia bagi para korban gempa Sumbar ini tidak hanya ditunjukkan pemerintah federal tetapi juga pemerintah negara bagian. Di antara negara bagian yang bersimpati dan mendukung misi kemanusiaan Australia itu adalah Queensland.

Presiden Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA), Cecep Setiawan menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Premier (Kepala Pemerintah) Negara Bagian Queensland Anna Bligh.

Sebagai wujud dari keprihatinannya itu, Anna Bligh bersama sejumlah menteri dan anggota Parlemen Queensland telah pun mengadakan pertemuan dengan para wakil Palang Merah Australia serta komunitas Indonesia, Samoa, Filipina dan Vietnam yang ada di kota Brisbane dan sekitarnya Kamis (1/10).

Pemerintah federal Australia melalui Menlu Stephen Smith juga telah menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban bencana.

"Hati kita tertuju pada Indonesia dan warga Indonesia yang terkena dampak bencana ini," katanya dalam penjelasan persnya kepada media setempat.

Gempa dahsyat yang melanda Sumbar itu tidak hanya menewaskan lebih dari seribu orang dan melukai sedikitnya 2.177 orang tetapi juga merusak sedikitnya 2.650 bangunan.

Untuk meringankan penderitaan para korban, berbagai elemen masyarakat Indonesia di Australia terus melakukan penggalangan dana bantuan kemanusiaan dalam tiga hari terakhir.

Di Sydney misalnya, komunitas Indonesia yang berhimpun dalam "Minang Saiyo" melakukan aksi pengumpulan dana bantuan bencana lewat rekening organisasi itu. Aksi dompet peduli bencana Sumatera juga digelar kalangan mahasiswa Indonesia.

*) My news for ANTARA on Oct 2, 2009

Thursday, October 1, 2009

AUSTRALIA SIAPKAN BANTUAN DARURAT BAGI KORBAN GEMPA SUMBAR

Setelah pemerintah RI memberi "lampu hijau" terhadap masuknya bantuan asing bagi korban bencana gempa Sumatera Barat (Sumbar), Australia segera menyiapkan bantuan tanggap darurat, seperti obat-obatan dan tenda, serta mengirim tim asesmen dampak gempa ke daerah bencana.

Konfirmasi tentang langkah-langkah misi kemanusiaan Australia bagi para korban gempa bumi Sumbar itu disampaikan Menteri Luar Negeri Stephen Smith dalam wawancara langsungnya dengan Stasiun TV "Channel Nine" Jumat pagi.

Namun pada saat bersamaan, Menlu Smith juga mengungkapkan kekhawatirannya pada nasib seratus orang warga negara Australia yang diyakini berada di wilayah bencana karena mereka belum dapat dihubungi.

Sejauh ini pihaknya baru berhasil menghubungi 140 dari 250 warga Australia yang diyakini berada di kawasan bencana gempa berkekuatan 7,6 pada Skala Richter yang memporakporandakan kota Padang dan beberapa wilayah lainnya di Sumbar hari Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB itu.

Staf Kedubes Australia di Jakarta terus berupaya mencari tahu keberadaan warga negaranya yang masih belum diketahui nasibnya itu dengan mengecek rumah sakit dan tetap berhubungan dengan otoritas terkait Indonesia.

Berkaitan dengan bantuan kemanusiaan bagi para korban gempa, Menlu Smith mengatakan, pihaknya menyiapkan bantuan tanggap darurat berupa obat-obatan dan tenda, melakukan asesmen (penilaian) dampak gempa, dan mengirim tim bantuan dari divisi teknis Angkatan Bersenjata Australia.

"Tim ini akan diberangkatkan hari ini (Jumat)," katanya.

Gempa bumi dahsyat Sumbar yang goncangannya dirasakan hingga ke Malaysia itu terjadi pada hari yang sama dengan bencana tsunami di Samoa, negra kecil di Pasifik Selatan.

Dalam bencana gelombang besar yang dipicu gempa bumi berkekuatan 8,3 pada Skala Richter di perairan laut baratdaya Samoa Amerika, Rabu (30/9) pagi itu, empat orang warga Australia tewas dan beberapa orang lainnya luka-luka.

Perhatian besar media

Dua bencana besar yang melanda Indonesia dan Samoa ini menyedot perhatian media cetak dan elektronika utama Australia dalam tiga hari terakhir. Selain Stasiun TV "Channel Nine", stasiun TV "Channel Seven", "Channel 10", "ABC" dan "SBS) juga menjadikannya berita utama dalam siaran berita mereka.

Sementara itu, aksi penggalangan dana bantuan korban gempa Sumbar dari berbagai elemen masyarakat Indonesia di Australia mulai "marak".

Di Sydney misalnya, komunitas Indonesia yang berhimpun dalam "Minang Saiyo" melakukan aksi pengumpulan dana bantuan bencana lewat rekening organisasi itu.

Sejauh ini, jumlah uang yang sudah terkumpul dari aksi solidaritas komunitas "Minang Saiyo" di Sydney itu sudah mencapai 1.350 dolar Australia namun dana kemanusiaan diperkirakan akan terus bertambah.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra Dr.Aris Junaidi telah pula mengimbau belasan ribu pelajar dan mahasiswa Indonesia di Australia agar ikut melakukan penggalangan dana bantuan.

"Selain fokus pada kegiatan perkuliahan, mahasiswa kita harus juga peka pada situasi di Tanah Air. Sebagai bentuk rasa simpati, penggalangan dana bagi para korban adalah kegiatan yang sangat simpatik," katanya di sela kunjungan kerjanya bersama dua diplomat dan atase Polri di KBRI Canberra ke Adelaide, Kamis (1/10).

Himbauan Adikbud RI di KBRI Canberra Aris Junaidi ini ditanggapi positif pengurus Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA).

Kepada ANTARA yang menghubunginya secara terpisah, Presiden UQISA, Cecep Setiawan, mengatakan, pihaknya mengapresiasi himbauan Adikbud RI di Canberra itu dengan menggelar aksi penggalangan dana "Dompet Peduli Sumatera".

"Kami mengimbau komunitas mahasiswa Indonesia di UQ agar untuk membantu 'dompet peduli' UQISA bagi para korban gempa Sumbar," katanya.

Simpati Australia

Cecep mengatakan, pihaknya juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Premier (Kepala Pemerintah) Negara Bagian Queensland Anna Bligh atas keprihatinan dan empatinya yang mendalam kepada para korban bencana alam yang terjadi di Indonesia, Samoa, Filipina dan Vietnam," katanya.

Sebagai wujud dari keprihatinannya itu, Anna Bligh bersama sejumlah menteri dan anggota Parlemen Queensland mengadakan pertemuan dengan para wakil Palang Merah Australia serta komunitas Indonesia, Samoa, Filipina dan Vietnam yang ada di kota Brisbane dan sekitarnya, katanya.

Pada pertemuan yang membahas upaya bantuan bagi para korban bencana, termasuk pembentukan "Premier Disaster Relief Appeal" itu, komunitas Indonesia diwakili enam orang.

Selain Cecep Setiawan, juga hadir Presiden Perhimpunan Masyarakat Indonesia (PIQ), Hendry Baiquni, Andri Setiawan (Perhimpunan Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane), Malia Ritaningsih (Aliansi Seni Australia-Indonesia), Hamid Mawardi (PIQ), dan Taufan Akbar Mawardi (Pemuda Muslim Asia Tenggara di Brisbane).

Pemerintah federal Australia melalui Menlu Stephen Smith juga telah menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban bencana.

"Hati kita tertuju pada Indonesia dan warga Indonesia yang terkena dampak bencana ini," katanya dalam penjelasan persnya kepada media setempat.

Gempa dahsyat yang melanda Sumbar itu tidak hanya menewaskan sedikitnya 500 orang dan melukai sedikitnya 2.177 orang tetapi juga merusak sedikitnya 2.650 bangunan.

*) My updated news for ANTARA on Oct 2, 2009

SEMANGAT BANTU KORBAN GEMPA SUMBAR "MARAK" DI AUSTRALIA

Berbagai elemen masyarakat Indonesia di berbagai kota di Australia menggalang aksi pengumpulan bantuan kemanusiaan bagi para korban bencana gempa bumi Sumatera Barat (Sumbar).

Di Sydney misalnya, komunitas Indonesia yang berhimpun dalam "Minang Saiyo" melakukan aksi pengumpulan dana bantuan bencana lewat rekening organisasi itu, demikian koresponden ANTARA melaporkan dari Brisbane, Kamis malam.

Sejauh ini, jumlah uang yang sudah terkumpul dari aksi solidaritas komunitas "Minang Saiyo" di Sydney itu sudah mencapai 1.350 dolar Australia. Dana kemanusiaan yang terkumpul diperkirakan akan terus bertambah.

Sebelumnya Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra Dr.Aris Junaidi telah mengimbau belasan ribu pelajar dan mahasiswa Indonesia di Australia agar ikut menggalang dana kemanusiaan bagi para korban bencana di Tanah Air, termasuk gempa Sumbar.

"Selain fokus pada kegiatan perkuliahan, mahasiswa kita harus juga peka pada situasi di Tanah Air. Sebagai bentuk rasa simpati, penggalangan dana bagi para korban adalah kegiatan yang sangat simpatik," katanya di sela kunjungan kerjanya bersama dua diplomat dan atase Polri di KBRI Canberra ke Adelaide, Kamis.

Aris Junaidi mengatakan, ia sangat mendukung penggalangan dana kemanusiaan bagi para korban bencana Sumbar yang dilakukan di sela pertemuan dirinya dan ketiga unsur KBRI Canberra dengan sekitar seratus orang mahasiswa dan warga Indonesia di kampus Universitas Flinders, Australia Selatan, Kamis.

Penggalangan dana bantuan bagi para korban gempa bumi berkekuatan 7,6 pada Skala Richter yang memporakporandakan kota Padang dan beberapa wilayah lain di Sumbar hari Rabu (30/9) pukul 17.16 WIB itu sepatutnya pula dilakukan komunitas pelajar dan mahasiswa Indonesia lainnya di seluruh Australia.

"Setidaknya ada enam belas ribu orang pelajar dan mahasiswa kita di Australia saat ini," katanya.

Himbauan Adikbud RI di KBRI Canberra Aris Junaidi ini ditanggapi positif pengurus Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA).

Kepada ANTARA yang menghubunginya secara terpisah, Presiden UQISA, Cecep Setiawan, mengatakan, pihaknya mengapresiasi himbauan Adikbud RI di Canberra itu dengan menggelar aksi penggalangan dana "Dompet Peduli Sumatera".

"Kami mengimbau komunitas mahasiswa Indonesia di UQ agar untuk membantu 'dompet peduli' UQISA bagi para korban gempa Sumbar," katanya.

Simpati Australia

Cecep mengatakan, pihaknya juga menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Premier (Kepala Pemerintah) Negara Bagian Queensland Anna Bligh atas keprihatinan dan empatinya yang mendalam kepada para korban bencana alam yang terjadi di Indonesia, Samoa, Filipina dan Vietnam," katanya.

Sebagai wujud dari keprihatinannya itu, Anna Bligh bersama sejumlah menteri dan anggota Parlemen Queensland mengadakan pertemuan dengan para wakil Palang Merah Australia serta komunitas Indonesia, Samoa, Filipina dan Vietnam yang ada di kota Brisbane dan sekitarnya, katanya.

Pada pertemuan yang membahas upaya bantuan bagi para korban bencana, termasuk pembentukan "Premier Disaster Relief Appeal" itu, komunitas Indonesia diwakili enam orang.

Selain Cecep Setiawan, juga hadir Presiden Perhimpunan Masyarakat Indonesia (PIQ), Hendry Baiquni, Andri Setiawan (Perhimpunan Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane), Malia Ritaningsih (Aliansi Seni Australia-Indonesia), Hamid Mawardi (PIQ), dan Taufan Akbar Mawardi (Pemuda Muslim Asia Tenggara di Brisbane).

Sementara itu, dalam perkembangan lain, Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban bencana yang telah menewaskan sedikitnya 364 orang dan melukai sedikitnya 2.177 orang warga Sumbar itu.

"Hati kita tertuju pada Indonesia dan warga Indonesia yang terkena dampak bencana ini," katanya dalam penjelasan persnya kepada media setempat.

Menlu Smith juga menegaskan kesediaan Australia mengulurkan bantuannya kepada Indonesia jika diminta.

Gempa dahsyat yang melanda Sumbar itu tidak hanya menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan orang lainnya tetapi juga merusak sedikitnya 2.650 bangunan.

*) My updated news for ANTARA on Oct 1, 2009

About Me

My photo
Brisbane, Queensland, Australia
Hi, I am a journalist of ANTARA, Indonesia's national news agency whose headquarters is in Jakarta. My fate has brought me back to Australia since March 2007 because my office assigns me to be the ANTARA correspondent there. My first visit to the neighboring country was in 2004 when I did my masters at the School of Journalism and Communication, the University of Queensland (UQ), Brisbane, under the Australian Development Scholarship (ADS) scheme. However, the phase of my life was started from a small town in North Sumatra Province, called Pangkalan Brandan. In that coastal town, I was born and grown up. Having completed my senior high school there in 1987, I moved to Medan to pursue my study at the University of North Sumatra (USU) and obtained my Sarjana (BA) degree in English literature in 1992. My Master of Journalism (MJ) was completed at UQ in July 2005. The final research project report for my MJ degree was entitled "Framing the Australian Embassy Bombing (Jakarta) in Indonesian and Australian Newspapers". Further details about me can be read in a writing posted in my blog entitled "My Life Journey".

Blog Archive

NeoPod

NeoCounter

The Value of Creativity

The Value of Creativity